Senin, 01 Maret 2010

AKU, PANTAI DAN DIRIKU (cerpen)

Aku adalah aku
Bukan kau kamu atau dia
Aku adalah aku
Bukan batu yang menghitam di tepi gelap
Aku adalah aku
Bukan ombak di tepi pantai
Aku adalah aku yang mencari aku. ELANG

Senja makin menggelap berteman desir angin yang melembab di tepi pantai. Langkah gontai mengikuti irama hati yang bergelombang tak menentu seperti deru ombak membasuh tepi pasir. Ada kecewa, sakit yang teramat sangat, pedih diluka yang sama, bahkan mati tanpa membusuknya jasad bercampur aduk dalam benjana kehidupan yang membenciku, ohhhh… mungkin bukan membenciku tapi aku sendiri yang membuat keadaan seakan memusuhiku. Tapi biarlah ini hidup yang aku pilih, hidup penuh misteri yang aku sendiri tidak tau tentang diriku, hidup yang seakan damai yang selalu kutaburi dengan senyuman namun tak seorangpun tau arti dari senyuman itu, senyuman hambar dengan sedikit rasa.

Letih makin menggerogoti sendi - sendi tubuhku, akhirnya kujatuhkan tubuhku di pasir menengadah pandang langit hitam dengan sedilit bintang yang belum dapat dibaca petunjuk di rasi yang tak sempurna. Suara deru-deru ombak berkejaran menuntun waktu dipacuan kehidupan. ”hay manusia yang putus asa pergi kamu dari tepi pantai yang damai ini”. Kebingungan bersarang takut di hatiku namun ku coba beranikan diri dengan sedikit mental yang tersisa “siapa kamu? Iblis mana yang berani memerintahku”.gemeretak sendi-sendi merajai ketakutanku. “ aku deru ombak, aku muak dengan orang yang putus asa”. Kesadaranku bangkit, kupeluk kaki-kaki dinginku.

Tangis seakan ingin membuncah tapi rasa malu dan ego yang tinggi menghalangi tetes-tetes haru di hatiku, sebuah tangisan yang ku rindu, tangisan yang telah bertahun terbendung. “ hay anak muda, menangislah…. Krn tangisan yang tertahan dihati akan terasa lebih pedih dibanding tangisan yang terluapkan dimatamu” ocehan pasir seakan membuatku mau muntah, aku benci digurui aku muak “ diam kamu, muak aku mendengar ocehanmu” namun tetesan dimataku mulai melembabkan pipiku yang cekung.

Berlahan namun pasti terdengar nyanyian merdu yang terbawa angin melintasi pendengaranku. Aku tertegun dalam kebekuan yang syahdu, ku sapa sekeliling dengan mataku mencari harmoni yang membuaiku, dan akhirnya pencarianku tertuju pada gesekan daun nyiur yang melambai, pada ranting-ranting pinus yang terpatah kecil, pada hembusan lembut getarkan dawai sepi dan pada debur ombak yang bergenderang, ternyata mereka yang sedang bernyayi di keremangan senja. Meyejukkan hatiku yang bergelora panas nyaris membenamkan seluruh tubuhku dalam panasnya sebuah kebekuan sebuah kehilangan yang belum dapat aku terima, walau di mulutku mengatakan ikhlas namun hati dan jiwaku bulum dapat menerima kehilangan itu.


Saat alunan membuaiku, tubuhku seakan terbelah cahaya menjadi dua, membentuk siluet yang semakin nyata menyerupaiku namun dengan kebersihan yang sempurna, tidak sepertiku yang dekil dan selalu berselimut debu. “salam saudaraku, aku rindu tawa dan senyummu yang benar-benar dari hati. Aku rindu ketabahanmu yang dulu, bukan pelarianmu yang tak ada ujung. Aku rindu dirimu yang dulu. Detik tak akan pernah kembali karena dia telah terlewati. Biarkan bayang yang lalu jadi sebuah kenangan dia tak akan kembali, bahkan dia akan lebih bersedih melihatmu seperti ini, dalam kekumalan yang nyaris menghilangkan kamu yang dulu” bibirku bergetar takut, bahkan sangat takut seakan gambaran masalalu yang ingin ku buang tergambar kembali di pelupuk mataku. Kepedihan makin mengiris luka itu n akhirnya kujatuhkan tubuhku di pasir pantai, tak terasa linang air mata yang selama ini kutahan tertumpa juga.
Dalam hatiku berujar “ aku lelaki, diharamkan untuk ku menangis” namun tangis itu makin membanjir dan membasahi pasir. Jeritku tak tertahan membelah sepi di garis pantai yang sepi, aku seperti orang yang keedannan dan lupa diri “hentikan… hentikan…. Biarkan aku sendiri… biarkan aku sendiri….” Namun semakin aku berontak letih dan pedih makin melukai dan akhirnya menyerak dengan isak yang tersisa. “kenapa aku harus begini, terlahir dari rahim yang miskin, jari-jariku pedih untuk memanjat tebing pasir yang terjal dari kehidupan , mengapa….. mengapa aku selalu gagal, mengapa semua yang kucintai harus pergi… mengapa???? Jawablah???” suaraku makin parau dan semakin tak terdengar tertelan kembali di kerongkongan.

Separuh tubuhku seakan mati dingin, aku belum dapat menerima kenyataan ini, kenyataan yang memutar jalur hidupku, kenyataan yang membelenggu jiwaku membuat aku mati walau jasadku belum mati. “saudaraku, ibu yang melahirkan kita tidak pernah salah, cinta yang ada di hatimu tidak pernah salah, keadaan yang kau anggap salah tidak pernah salah, semua itu hanya sebagian dari perjalananmu agar kamu lebih dewasa dan lebih mengerti kehidupan. Seharusnya kamu bersyukur karena diusiamu yang muda kamu telah banyak mempelajari kehidupan yang rumit , sadarlah saudaraku jangan kau terus menyiksa dirimu” kesadaranku berlahan tumbuh tapi egosentris yang telah merasuk tetap tak mau mengalah, aku masih merasa aku yang paling benar, aku masih merasa aku tidak salah yang salah hanya sang waktu.

Gambaran yang ingin ku pudarkan dalam hidupku bukan semakin hilang tapi semakin menebal, satu demi satu terlintas dan seakan menghinaku. Saat, orang tuaku di cemoohkan karena kemiskinanya yang tidak dapat menyekolahkanku, saat orang-orang di sekelilingku menganggap remeh aku n saat aku harus di hina karena aku mencintai orang yang yang dianggap tak sederajat, terlebih lagi hinaan itu tidak sekali menderaku dan yang tragisnya aku harus dipisahkan dengan orang yang mencintaiku dan sangat ku cintai. Yang pertama dia harus merelakan cintanya terjual demi aku karena tak tahan mendengar cemoohan orang tuanya menghinaku dan yang kedua lebih tragis dia rela berkorban demi cintanya yang dianggap suci namun akhir dari itu semua tak ada yang memilikinya, Hanya doa yang dapat ku beri melintasi sepi kerindu.
Gambaran itu saling berganti bagai mata rantai luka yang menggilas kehidupanku. Sehingga aku berlari dari kenyataan, membenamkan diri dalam tawa yang melamurkan kepedihanku, ku perosokan diriku dalam jebakan labirin hitam kesesatan, menjadi seseoarang yang bukan dirinya lagi, menjadi pemuja barang haram untuk lari dari kenyataan dan di takuti semua orang, menjadi pemuja nafsu untuk menunjukan aku mampu memeluk semuanya, dan aku menjadi keras dengan keadaan, mengagap hidup ini kejam dan akhirnya mengambil keputusan harus kejam dengan kehidupan. Sebuah prinsip yang kusadari salah, prinsip yang menyeretku makin dalam kearah nista. walau terkadang saat kesadaranku hadir aku ingin kembali namun aku takut atau mungkin tepatnya aku pengecut yang belum siap menerima kenyataan.

Sesaat aku terdiam dalam renungan kebekuanku, rasa ingin berontak telah bersekutu dengan tubuhku, tapi aku tak tau ingin berontak yang bagaimana? Berontak dengan keadaan ku yang sekarang atau tetap mempertahankan egosentrisku yang telah menyatu padu dengan tubuhku, aku di posisikan dalan simpang kebingungan sebuah pilihan.“saudaraku, aku mengerti apa yang kamu pikirkan n apa yang ada didalam hatimu, karena aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Saudaraku, lihatlah onggokan kayu tua di tepi pantai itu, dia tidak pernah mau menyerah walau dia sadari batang tubuhnya tergerus asin pantai dan semakin melapuk, dia tetap resenyum tulus dengan keadaannya bahkan dia merasa tetap berguna walau telah renta. Sedari dia masih gagah dia telah menjadi pelindung untuk pohon yang kecil dan setelah dia rapuh dia masih menjadi tambatan sampan nelayan. Belajarlah pada dia saudaraku” mataku tak lepas memandang onggok kayu yang legam berlumut.

Pikiranku makin berkecamuk membantah semua hal yang memburuku n dan memerintahku walau sebenarnya rasa di hati telah terkalahkan, tetap ku kesampingkan dan ku anggapa ku tidak punya hati lagi” saudaraku, jangan kamu merasa sekuat karang yang gagah, memang terlihat tampak gagah namun dia akan semakin rapuh tergerus ombak yang dianggap dapat dikalahkan dan akhirnya dia akan menjadi kepingan-kepingan yang kecil terseret menjadi butiran debu. Pilihlah saudaraku, pilih, kehidupan adalah pilihan” Sesaat aku terdiam merenungkan kembali apa yang di ucapkannya seperti palu besar menghantam dadaku remukan egoku yang telah lama bertahta di hatiku.

Aku masih terdiam merenungkan semuanya, tentang ibu, tentang cinta, tentang orang-orang yang kulukai karena sebuah dendam yang tak berarti, timbul sebuah pertanyaan yang mengambang dalam pikiran ku. “apakah aku telah menciptakan orang-orang sepertiku hanya karena luka yang tak berarti? Aku berdosa” tangisku kembali tertumpa setelah sesaat mengering. Rasa bersalah makin menghantui, seperti tangan hitam yang tajam ingin menyeretku, aku menjerit “ maaf ibu, maaf…. Anakmu berdosa, aku berdosa…. Maaf ibu…..” aku ingin berlari kupeluk dan ku cium kakinya lalu kan kubasuh dengan air mata penyesalan.

Dan cinta yang selama ini membuat aku berubah akan ku kubur dalam pusara jiwaku yang terdalam, aku sadar aku tak dapat melupakan orang yang mencintaiku dan sangat ku cintai. Biarlah semua ini jadi kisah dari perjalananku sebuah kisah romantis yang menyedikan namun akan berganti babak yang baru lebih bahagia “hay anak muda, fajar akan tetap terbit, disitu akan ada harapan setiap makhluk, jangan kamu memadamkan mentari dalam hatimu. Senja hanya ketenangan penghantar tidur panjang jangan buat mimpi-mimpi burukmu” kayu tua tersenyum padaku sambil memeberikan fatwa penyejuk jiwa.

Malampun kian menua, rinai-rinai hujan mulai membasahi bumi, kulihat disela-sela rintik tiga wajah ayu tersenyum padaku. Wajah ibuku “maaf ibu aku akan berbakti padamu. Wajah kekasiku yang bukan milikku “moga kamu bahagia” wajah kekasihku yang telah berpeluk damai “doaku selalu bersamamu”. Aku langkahkan langkahku menuju hidup lebih baik n aku tak akan akan menyerah, terima kasih angin, terima kasih pasir, terimakasih ombak, terima kasih kayu tua, karang, nyiur, pinus terima kasih aku akan kembali dan aku kembali menjadi diriku. Terima kasih.


Elang jingga wandinata

Tidak ada komentar: