Senin, 19 April 2010

AMARAH

memaki pada batu dungu.
bentur dinding menggema cakar diri.
apa bodohmu telah bersarang di otakku.
atau otakku telah meninggalkanku.
Garang gemuruh tahan gejolak murka

ahkkk…
bising…
diamlah walau sejenak.
hentikan sumbang nada itu
tak ada merdu
bahkan seperti teriakan gagak gagu

ahkkk…
gaduh…
bunyi terompet maut terus menggaung perang
di lereng kerangka kepala penat.
Berisik lolong gonggong
liur sringaimu bau

umpatku tak bergeming
menguasai getar tegar tubuh
kucingcang dengan pedang bisu
tak juga kau tau dari siratku

ocehmu rancu.
menantang untuk berseteru
tak mundur setapak langkahku
biarkan terbunuh dengan tajam mata panah
aku akan tetap berdiri tahan terjang.
jangan harap ada luka
kau yang kan tersayat
pedih itu tak akan terlupa.

tatap wajahku
ku rajam dengan serapah
sumpah sarat hina
ku hujam tepat pada nganga gerammu
jangan harap aku mundur walau selangkah



elang jingga wandinata

RORO NINGRUM II (sang penari)

roro ningrum
kembang sepi pentas malam
lentik jari ujung selendang
gemulai gerak bidadari khayangan
merasuk getar gemulai sang penari

lena pesona mengagumi
pancar takjub pandang bertumpuh
riuh decak belalak lembut
sang gadis terus bermain gerak
lenggak lenggok berirama sepi

pentas malam
berterang obor sabut kelapa
jiwa-jiwa terbang melayang
di iring gending nada berlahan
ikuti alun hanyut memanggil
lewati waktu lupakan fajar

roro ningrum kembang malam
sang penariku
tatapmu setengah terpejam
lupa akan luka yang menoreh
tinggalkan persemayaman dinginnya duka
letih penat mengabur di sejenak

penari sepiku
senyum pias tampakkan tangismu
lara bersarang di hentak langkah gamangmu
luapkan senyap yang menggenang sepimu
nikmati damai saat di liuk mengalir
di tubuh gemulai pedar gelap sejuk menebar

gadis di remang-remang api
tari itu
dipentas sepi dadari malam
wajah hampa terbias tawa
tertutupi lenggok gerak liukmu

roro ningrum
pedihmu kurasakan
berkedok sempurna di balik riasmu
aku tau,,
aku rasakan kecewamu
kau ingin di hibur, bukan menghibur
irama di gerakmu tak tersuguh untuk siapapun
tapi suara itu yang mengajakmu
gending bertaut merasuk jiwamu
menyeret untuk taklukan malam

roro ningrum
sang penari
ratu panggung pentas malam
berduka sesaat nada terhenti
hampa kosong lagi
kecewa mengabari sepimu kembali

roro ningrum sang penari
kecewa sepi
hampa kosong lagi
izinkan aku untuk menghapus tangis sepi



elang jingga wandinata

untuk roro ningrum sang penari kembang malam lara sepi

AWAL BARU

ingin ku awali tulisan ini dengan suka
lupakan duka yang lalu
tinggalkan nestapa yang dulu
merangkai kembali dengan tinta emas yang lama tersimpan

di awal tulisanku yang baru
bukan untuk buang tulisan lama
namun sebagai berkas saatku lupa

ini fajarku
senjaku lama lagi
gunung-gunung menantang masih berkacak pinggang
mengaharap peratarungan terakhir kan di menangkan

pandang depan dengan gagah
songsong terik jadikan sahabat
merendah hari untuk esok hari
padamkan gelap di tiaupan nafas tersisa

jangan menyerah
walau detik kan berhenti
atau detak akan pergi
semua itu hanya ketakutan tak berarti

roda bumi tak akan mengajak kembali
sesal hanya pelajaran yang harus di mengerti
bukan di tangisi hingga letih
lalu terkubur di dalam sepi

yang lalu guru terbaik
yang depan kita jadi guru
mengajarkan pada langkah salah jangan tertiru
bimbing jalan lebih berpadu.
demi gempita datang bersorak sorai



elang jingga wandinata

Senin, 01 Maret 2010

AKU, PANTAI DAN DIRIKU (cerpen)

Aku adalah aku
Bukan kau kamu atau dia
Aku adalah aku
Bukan batu yang menghitam di tepi gelap
Aku adalah aku
Bukan ombak di tepi pantai
Aku adalah aku yang mencari aku. ELANG

Senja makin menggelap berteman desir angin yang melembab di tepi pantai. Langkah gontai mengikuti irama hati yang bergelombang tak menentu seperti deru ombak membasuh tepi pasir. Ada kecewa, sakit yang teramat sangat, pedih diluka yang sama, bahkan mati tanpa membusuknya jasad bercampur aduk dalam benjana kehidupan yang membenciku, ohhhh… mungkin bukan membenciku tapi aku sendiri yang membuat keadaan seakan memusuhiku. Tapi biarlah ini hidup yang aku pilih, hidup penuh misteri yang aku sendiri tidak tau tentang diriku, hidup yang seakan damai yang selalu kutaburi dengan senyuman namun tak seorangpun tau arti dari senyuman itu, senyuman hambar dengan sedikit rasa.

Letih makin menggerogoti sendi - sendi tubuhku, akhirnya kujatuhkan tubuhku di pasir menengadah pandang langit hitam dengan sedilit bintang yang belum dapat dibaca petunjuk di rasi yang tak sempurna. Suara deru-deru ombak berkejaran menuntun waktu dipacuan kehidupan. ”hay manusia yang putus asa pergi kamu dari tepi pantai yang damai ini”. Kebingungan bersarang takut di hatiku namun ku coba beranikan diri dengan sedikit mental yang tersisa “siapa kamu? Iblis mana yang berani memerintahku”.gemeretak sendi-sendi merajai ketakutanku. “ aku deru ombak, aku muak dengan orang yang putus asa”. Kesadaranku bangkit, kupeluk kaki-kaki dinginku.

Tangis seakan ingin membuncah tapi rasa malu dan ego yang tinggi menghalangi tetes-tetes haru di hatiku, sebuah tangisan yang ku rindu, tangisan yang telah bertahun terbendung. “ hay anak muda, menangislah…. Krn tangisan yang tertahan dihati akan terasa lebih pedih dibanding tangisan yang terluapkan dimatamu” ocehan pasir seakan membuatku mau muntah, aku benci digurui aku muak “ diam kamu, muak aku mendengar ocehanmu” namun tetesan dimataku mulai melembabkan pipiku yang cekung.

Berlahan namun pasti terdengar nyanyian merdu yang terbawa angin melintasi pendengaranku. Aku tertegun dalam kebekuan yang syahdu, ku sapa sekeliling dengan mataku mencari harmoni yang membuaiku, dan akhirnya pencarianku tertuju pada gesekan daun nyiur yang melambai, pada ranting-ranting pinus yang terpatah kecil, pada hembusan lembut getarkan dawai sepi dan pada debur ombak yang bergenderang, ternyata mereka yang sedang bernyayi di keremangan senja. Meyejukkan hatiku yang bergelora panas nyaris membenamkan seluruh tubuhku dalam panasnya sebuah kebekuan sebuah kehilangan yang belum dapat aku terima, walau di mulutku mengatakan ikhlas namun hati dan jiwaku bulum dapat menerima kehilangan itu.


Saat alunan membuaiku, tubuhku seakan terbelah cahaya menjadi dua, membentuk siluet yang semakin nyata menyerupaiku namun dengan kebersihan yang sempurna, tidak sepertiku yang dekil dan selalu berselimut debu. “salam saudaraku, aku rindu tawa dan senyummu yang benar-benar dari hati. Aku rindu ketabahanmu yang dulu, bukan pelarianmu yang tak ada ujung. Aku rindu dirimu yang dulu. Detik tak akan pernah kembali karena dia telah terlewati. Biarkan bayang yang lalu jadi sebuah kenangan dia tak akan kembali, bahkan dia akan lebih bersedih melihatmu seperti ini, dalam kekumalan yang nyaris menghilangkan kamu yang dulu” bibirku bergetar takut, bahkan sangat takut seakan gambaran masalalu yang ingin ku buang tergambar kembali di pelupuk mataku. Kepedihan makin mengiris luka itu n akhirnya kujatuhkan tubuhku di pasir pantai, tak terasa linang air mata yang selama ini kutahan tertumpa juga.
Dalam hatiku berujar “ aku lelaki, diharamkan untuk ku menangis” namun tangis itu makin membanjir dan membasahi pasir. Jeritku tak tertahan membelah sepi di garis pantai yang sepi, aku seperti orang yang keedannan dan lupa diri “hentikan… hentikan…. Biarkan aku sendiri… biarkan aku sendiri….” Namun semakin aku berontak letih dan pedih makin melukai dan akhirnya menyerak dengan isak yang tersisa. “kenapa aku harus begini, terlahir dari rahim yang miskin, jari-jariku pedih untuk memanjat tebing pasir yang terjal dari kehidupan , mengapa….. mengapa aku selalu gagal, mengapa semua yang kucintai harus pergi… mengapa???? Jawablah???” suaraku makin parau dan semakin tak terdengar tertelan kembali di kerongkongan.

Separuh tubuhku seakan mati dingin, aku belum dapat menerima kenyataan ini, kenyataan yang memutar jalur hidupku, kenyataan yang membelenggu jiwaku membuat aku mati walau jasadku belum mati. “saudaraku, ibu yang melahirkan kita tidak pernah salah, cinta yang ada di hatimu tidak pernah salah, keadaan yang kau anggap salah tidak pernah salah, semua itu hanya sebagian dari perjalananmu agar kamu lebih dewasa dan lebih mengerti kehidupan. Seharusnya kamu bersyukur karena diusiamu yang muda kamu telah banyak mempelajari kehidupan yang rumit , sadarlah saudaraku jangan kau terus menyiksa dirimu” kesadaranku berlahan tumbuh tapi egosentris yang telah merasuk tetap tak mau mengalah, aku masih merasa aku yang paling benar, aku masih merasa aku tidak salah yang salah hanya sang waktu.

Gambaran yang ingin ku pudarkan dalam hidupku bukan semakin hilang tapi semakin menebal, satu demi satu terlintas dan seakan menghinaku. Saat, orang tuaku di cemoohkan karena kemiskinanya yang tidak dapat menyekolahkanku, saat orang-orang di sekelilingku menganggap remeh aku n saat aku harus di hina karena aku mencintai orang yang yang dianggap tak sederajat, terlebih lagi hinaan itu tidak sekali menderaku dan yang tragisnya aku harus dipisahkan dengan orang yang mencintaiku dan sangat ku cintai. Yang pertama dia harus merelakan cintanya terjual demi aku karena tak tahan mendengar cemoohan orang tuanya menghinaku dan yang kedua lebih tragis dia rela berkorban demi cintanya yang dianggap suci namun akhir dari itu semua tak ada yang memilikinya, Hanya doa yang dapat ku beri melintasi sepi kerindu.
Gambaran itu saling berganti bagai mata rantai luka yang menggilas kehidupanku. Sehingga aku berlari dari kenyataan, membenamkan diri dalam tawa yang melamurkan kepedihanku, ku perosokan diriku dalam jebakan labirin hitam kesesatan, menjadi seseoarang yang bukan dirinya lagi, menjadi pemuja barang haram untuk lari dari kenyataan dan di takuti semua orang, menjadi pemuja nafsu untuk menunjukan aku mampu memeluk semuanya, dan aku menjadi keras dengan keadaan, mengagap hidup ini kejam dan akhirnya mengambil keputusan harus kejam dengan kehidupan. Sebuah prinsip yang kusadari salah, prinsip yang menyeretku makin dalam kearah nista. walau terkadang saat kesadaranku hadir aku ingin kembali namun aku takut atau mungkin tepatnya aku pengecut yang belum siap menerima kenyataan.

Sesaat aku terdiam dalam renungan kebekuanku, rasa ingin berontak telah bersekutu dengan tubuhku, tapi aku tak tau ingin berontak yang bagaimana? Berontak dengan keadaan ku yang sekarang atau tetap mempertahankan egosentrisku yang telah menyatu padu dengan tubuhku, aku di posisikan dalan simpang kebingungan sebuah pilihan.“saudaraku, aku mengerti apa yang kamu pikirkan n apa yang ada didalam hatimu, karena aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Saudaraku, lihatlah onggokan kayu tua di tepi pantai itu, dia tidak pernah mau menyerah walau dia sadari batang tubuhnya tergerus asin pantai dan semakin melapuk, dia tetap resenyum tulus dengan keadaannya bahkan dia merasa tetap berguna walau telah renta. Sedari dia masih gagah dia telah menjadi pelindung untuk pohon yang kecil dan setelah dia rapuh dia masih menjadi tambatan sampan nelayan. Belajarlah pada dia saudaraku” mataku tak lepas memandang onggok kayu yang legam berlumut.

Pikiranku makin berkecamuk membantah semua hal yang memburuku n dan memerintahku walau sebenarnya rasa di hati telah terkalahkan, tetap ku kesampingkan dan ku anggapa ku tidak punya hati lagi” saudaraku, jangan kamu merasa sekuat karang yang gagah, memang terlihat tampak gagah namun dia akan semakin rapuh tergerus ombak yang dianggap dapat dikalahkan dan akhirnya dia akan menjadi kepingan-kepingan yang kecil terseret menjadi butiran debu. Pilihlah saudaraku, pilih, kehidupan adalah pilihan” Sesaat aku terdiam merenungkan kembali apa yang di ucapkannya seperti palu besar menghantam dadaku remukan egoku yang telah lama bertahta di hatiku.

Aku masih terdiam merenungkan semuanya, tentang ibu, tentang cinta, tentang orang-orang yang kulukai karena sebuah dendam yang tak berarti, timbul sebuah pertanyaan yang mengambang dalam pikiran ku. “apakah aku telah menciptakan orang-orang sepertiku hanya karena luka yang tak berarti? Aku berdosa” tangisku kembali tertumpa setelah sesaat mengering. Rasa bersalah makin menghantui, seperti tangan hitam yang tajam ingin menyeretku, aku menjerit “ maaf ibu, maaf…. Anakmu berdosa, aku berdosa…. Maaf ibu…..” aku ingin berlari kupeluk dan ku cium kakinya lalu kan kubasuh dengan air mata penyesalan.

Dan cinta yang selama ini membuat aku berubah akan ku kubur dalam pusara jiwaku yang terdalam, aku sadar aku tak dapat melupakan orang yang mencintaiku dan sangat ku cintai. Biarlah semua ini jadi kisah dari perjalananku sebuah kisah romantis yang menyedikan namun akan berganti babak yang baru lebih bahagia “hay anak muda, fajar akan tetap terbit, disitu akan ada harapan setiap makhluk, jangan kamu memadamkan mentari dalam hatimu. Senja hanya ketenangan penghantar tidur panjang jangan buat mimpi-mimpi burukmu” kayu tua tersenyum padaku sambil memeberikan fatwa penyejuk jiwa.

Malampun kian menua, rinai-rinai hujan mulai membasahi bumi, kulihat disela-sela rintik tiga wajah ayu tersenyum padaku. Wajah ibuku “maaf ibu aku akan berbakti padamu. Wajah kekasiku yang bukan milikku “moga kamu bahagia” wajah kekasihku yang telah berpeluk damai “doaku selalu bersamamu”. Aku langkahkan langkahku menuju hidup lebih baik n aku tak akan akan menyerah, terima kasih angin, terima kasih pasir, terimakasih ombak, terima kasih kayu tua, karang, nyiur, pinus terima kasih aku akan kembali dan aku kembali menjadi diriku. Terima kasih.


Elang jingga wandinata

KALIAN TAK AKAN TAU

kalian tak akan tau apa yang berdenyut di detak nadimu
kalian tak akan tau dari bahasa di aliran darahmu
marih bersumpah atas mana ruh yang bersarang di jasadmu
kalian tak akan tau

gundah sering singga saat langkah mengetarkan asa
gamang sering menerpa saat ingin mengharap riba
galau sering datang saat harap merebut mimpi
melangkahlah, sambut inginmu dengan harapmu

kita bukan DIA yang tau yang tau embun di ujung daun
kita bukan DIA yang paham akan detik berakhir
hanya bayangan dari gambar semu di depan
takut, hilangkanlah dengan yakin tepis resahmu


elang jingga wandinata

KERINDUAN KEMBARA RINDU

Jerat-jerat mimpi belum lepas di rayuan lelap
Namun takut singahi detik merenggut detak
Tak dapat lagi rasakan belaian angin meratapi diri
Tak dapat lagi mengecap gejolak rindu di tetes mata

Biarkan malamku habis tanpa tertidur
Biarkan kakiku melepuh di panas terik samudra gurun
Aku hanya rindu…. Rindu… rindu padamu…
Telah ku talak haus dan lapar untukmu
Hingga ku dapat melepas dahaga dari tangan-tangan rindumu

Peluk aku dengan rinduku
Dekap aku dengan rinduku
Walau harus menari dengan kegilan rindu hingga jasad memuntahkan ruh
Kuserahkan hidup di bawah kakimu
Bukan surga yang ku harap tapi rinduku padamu walau hanya menjadi debu di hadapanmu

Namun… bagaimana rinduku kan mendapat sambutmu???
Lakuku lalu telah pecahkan guci-guci hening kerinduan
Walau tangis menganak sungai menjadi lautan
Tak dapat satukan serpihan sesal mengutip maaf

Apapun kan ku lakukan untuk menebus salahku demi rinduku
Terkubur di lapisan bumi ketujuh, aku mau….. tapi jangan ambil nafasku
Atau… terbang tanpa sayap kelapisan langit ketujuh, aku mau….. tapi jangan ambil nafasku
Walau menjadi terompa tempat berpijakmu
dahaga rinduku telah terobati merebut rinduku

tapi rindu dari rasa rinduku dalam rasaku
terbendung rindu di khilaf laluku
rinduku yang sangat teramat merindu
rindu dalam rindu yang merindu
harap sambut rinduku dalam rinduku
bagai bunga melayu terselip di baju tanpa saku.


ELANG JINGGA WANDINATA

OCEHAN SI GILA

Hey…. Kemari dekat aku
Ikut aku bersujud!!!
Aku di depan jadi imam
Kalian di belakangku jadi makmum

Kenapa tertawa??? Kenapa kalian tertawa
Aku tidak gila
Aku tidak gila
Kalian yang gila, kalian yang gila!!!

Hey…. Apakah kalian sudah dengar azan???
Ada masjid megah di situ….
Tapi kemana semua umatnya???
Mungkin ini museum untuk sajadah

Baiknya aku sujud di pinggir parit.
Walau bersuci di sisa kotoran

Oooh…. Aku tau…
Mungkin sang bilal telah mati…..

Dimana liang tempat bilal itu membusuk?
Dimana ahli warisnya?
Siapa penerus seruannya?

Oooh…. Aku tau…
Mungkin azan telah berhenti

Ya….. ya…..
Aku saja…. Aku saja….
Aku yang akan mengumandangkan azan
Allahu akbar… allahu akbar…
Allahu akbar… allahu akbar…

Hey…
Diam kau gila…
Sittt…… diam… ada anjing menggonggong.
Wajahnya hitam…. Matanya menyala…
Busuk kau setan dengan kebengakan kau


Oiya…… aku akan mengadu pada amir.
Tapi…. Kenapa amir itu hanya tertunduk diam?


Oooh…. Mungkin dia sedang tafakur.
Ayo kita lihat…… dan ayo kita ikuti ke juhudannya

Kita tertipu
Dia lebih gila dari pada aku…
Dia sedang menghitung riba dari umatnya.
Bajingan…. Kupecahkan kepala kau di lantai masjid

Ayo ikut aku….
Ku hantar kau kedalam neraka
Mampus kau di situ…
Tertawalah lagi andai kau mampu
Ha…… ha….. ha…..



ELANG JINGGA WANDINATA

BAYANG-BAYANG HITAM

aku telah menjadi bangkai dari timbunan kepedihan
kesepian mencekam menceraiakan rasa yang mendera
sungguh,,,, waktu yang terlewati seakan gelap tak ada lagi arti fajar mendaki langit
tak kulihat lagi dia semenjak beribu detik yang lalu
walau hanya sekedar tersenyum di balik jendela itu
yang terkasih telah pergi dan tak kembali lagi menemani pagi
semua ini menakutkan bagiku dari pada teriakan kematian yang memanggil

bawalah puing-puing luka yang menikam dadaku
senandungkan kepiluan menyelimuti tubuh yang telah letih
di gumpalan awan melintasi kepekatan duka
dalam bayang-bayang hitam bercampur aduk membuat gaduh

keyakinan tersulut getarkan pennyangga awan
tak ada satupun yang dapat memisahkannya dari sisiku
aku telah memiliki semuanya walau sedetik dia singga dalam nyata
rasa bukan sekedar pertemuan jasad namun menyatukan yang tiada menjadi ada

cahaya dari kobaran api tak juga terangi pekatku
bahkan untuk hangatkan kebekuan, panas itu tak mampu
dia masih bertahta dan bermahkota
dia tinggal abadi di istana tanpa ponggawa di istana sutra
dia tetap hidup di ruh dan jasadku
bersama kala terang dan tetap bersama kala gelap
walau....
walau....
walau dia telah jauh...

elang jingga wandinata

FAJAR, CAHAYA MATAKU (setangkup rindu buat adikku SURYA)

rindu....
kangen...
aku juga rindu dek...
aku juga kangen dek...
maaf, krn aku gagal membahagiakanmu....
namun aku yakin jalan hidupmu kan bahagia...

maaf...
maaf, krn aku bukanlah seorang figur yang dapat kamu contoh...
untukmu cahaya mataku...
fajar yang menyinari kehidupanku...

adiku...
salam rindu buat emak n bapak...
adikku... ABDI TATA SURYA...


ELANG JINGGA WANDINATA

DIANTARA DUA LANGKAH WAKTU

Fajar telah menyapu embun.
Dingin semalam menggeliat malas di pembaringan sepi.
Di mata sayu mentari yang malu-malu menjejakan kaki.
Membias senyum bertabir tanya.
Akankah terik singgah di ufuk?
Diam tanpa jawab…..

Mentembaga goreh semburat merah jingga di antara dua langkah yang membagi bumi.
Masa kan mengundang waktu menghitung senja yang mungkin tak lama...
Atau senja tak sampai pada putarannya…
Tanya ilalang pada angin….

Bisu …
Derap langkah dalam gaduh…
Teriakan debu-debu membedaki wajah
Kusam, menekuk pandangi jari-jari kaki…
Kais sisa-sisa celoteh yang tak terdengar
Tertawa tanpa tau dari bongkahan lelucon yeng mengambang di air…

Mungkin letih yang melegamkan tubuh melibihi bayangan di balik punggung…
Bukan beban…
Namun tak bernama…
Jalani panggil suara dibalik samar panasnya terik.
Apa yang harus di jalani???
Dia menjawab…
Nafas….
Nafas…
Nafkah…
Kamu masih hidup….


Elang jingga wandinata.

MEMAKI TEBING-TEBING PENAT

ajarkan aku merangkai kata kembali....
aku lupa akan jiwa yang dulu...
atau hatiku telah mati....

akhh....
terbelenggu...
mati...
berteriak...
tertahan...

akhh..
pergi...
meninggalkan....
duka...
tanpa air mata...
memaki di tebing-tebing penat...
terpantul gaung menyerang diri...
sesak...
ingin...
temuntahkan...

akhh...
sudah...
pergi...
luapakanlah...
lupakanlah...
tak terlupa...
jujur...
aku cinta...
jujur...
aku butuh...
jujur...
hari mati...
akhh...
sudahlah...

Malam mengejar malam lewati malam melintasi malam.
Apa arti perjalanan ini?
Hanya tubuhku, jiwaku pergi.
Menemukan kepingan hilang lalu hilang kembali.



Elang jingga wandinata.

CERMIN

Dari matanya terlihat nanar sepi...
Bibirnya dapat menyuguhkan senyum, bahkan teramat indah membuai mata yang menelanjangi tubuhnya…
Menatap liar membau busuk di liur-liur pemuja raga…
Tanpa rasakan pedih ditatap itu…
Tatap yang berteriak….

Geliat-geliat manja nyaris tak berbusana…
Di remang sinaran temaran lampu terselubung malam bak surga menyinari nafkah di lumpur2 dosa...
Tapi apa dia berdosa?
Atau dia yang berdosa???
Tak ada jawab dari doa-doa bertanya dosa…
Atau dosa itu hanya untuk sang pendusta nista...
Memandang najis tubuh yang di anggap nista…
Dia punya hati…
Bukan jalang yang harus di sumpah mati…

Usiamu muda dik...
Kata yang tak sanggup terucap...
Mari dekat aku…
Aku juga binatang yang jalang…
Namun aku tak akan menerkamu karena aku lebih jalang darimu…
Mari dekat aku…
Aku tak akan memangsamu karena kau bukan jalang tapi aku yang jalang…
Jangan biarkan binatang yang jalang ingin memangsamu lagi…
Berkatalah dik…
Ujar yang tak terlontar menggema di dinding-dinding tangis…
Hanya dapat melihat melas di balik-balik dukanya…

Ini nyata
Bukan dilema yang di anggap sampah…
Siapa???
Siapa?
Tanya salah pada salah…
Siapa????

Tanya diri, pandang kaca, aku atau dia Yang maya....
Tanya diri pandang kaca, aku atau dia yang jalang…
Tanya diri pandang kaca, aku atau dia yang sampah…
Tanya diri pandang kaca aku atau dia yang dosa…
Tanya diri pandang kaca….

Elang jingga wandinata.

ASA JARI-JARI MUNGIL LAMPU MERAH

Dari jendela kaca yang usang...
Terlihat tetes di pipi bocah setinggi pinggangku...
Mengapa???
Pertanyaan mengusik...

Di bawah pohon pelindung tengah jalan lampu merah...
Dia terduduk lesu menggenggam kerincing tutup botol minuman soda...
Mungkin dia lapar, atau dia memimpikan menjadi presiden...
Mungkin...
Atau memar di bawah matanya mengisyaratkan debu tak bersahabat...

Dimana ibumu nak???
Dari jendela kaca berdebu aku bertanya….
Dia diam…
Menatap penuh Tanya dan harap demi beberapa rupiah….

Gumam dimulut kecilnya menjawab menyayat…
Sudah mati dirumah kerdus yang tergusur…
Bangkainya menjadi makannan anjing lapar…
Dan ayahku lari dengan pelacur yang dapat membelikannya rokok…

Aku bertanya lagi…
Dimana saudaramu n megapa matamu membiru???
Kakakku menjual tubuh untuk sesuap nasi di balik sampah…
Abangku di penjarah yang tak pernah ku lihat…
Dia membunuh karena matanya membiru seperti aku…

Bang,,,, aku pingin jadi presiden…
Mimpi indah dari mimpi di selah kotak baja…
Mimpi yang harus terbeli jari-jari mungil lampu merah…
Berdesing memekakan rongga telinga…
Namun ngiang harap yang terucap memecahkan jiwa-jiwa yang polos memikul asa...


Elang jingga wandinata

MARI BERPUISI DENGANKU

genderang fajar hampir bertabuh.
kala batang tubuh telah meletih meranggas di tepi laguna keruh
tak ada yang kunanti…
walau labuhan bersandar melelapkan jasad menantiku....
semua telah mengejar memburuhku dengan panah-panah penat.
namun aku masih ingin terbang…
hingga sayapku tak mampu lagi membelah angkasa....
di kepakkan yang merapuh terkikis dinginnya pekat.

kerinduanku merangkai kata menyeret hasrat menuntun jiwa.
gelap ini sepi tanpa ombak...
merah di timur masih tampak muram....

mari berpuisi denganku, kita jalin waktu walau tak ada sua dalam temu...
aku merindu dari kata2 yang menuntun jiwa.
walau terkadang aku merasa letih untuk berpuisi...
namun naluriku berkata lain.....
ini adalah jiwamu...
di darahmu ada bait2 sajak...
atau kebuntuan kala huruf tak kutemukan membuatku jenuh...

aku bertanya pada angin yang hampa....
apa yang ku cari???
tik... tik... tik... tak juga ada jawab...
desirpun takut ziarahi jasadku...
mungkin dia malu atau dia tak tau dari apa yang kucari....

tau dari tau yang tidak tau dari apa yang ingin ku tau….
paham dari paham yang tidak paham dari apa yang ingin ku paham…
menyeret pengertian dalam rintik membau tanah basah.
di teriakan bisu bangunkan sunyi yang tak tertidur.
di dengkur tanpa lelap mengalap dengan lahap titik biduk tak berpetunjuk gelap.
sisakan jalan yang tak terpijak terkoyak api…
renung dalam melumat kata yang memat…
merengguk syair di hamparan gelap.

mari berpuisi denganku, kita jalin waktu walau tak ada sua dalam temu...
aku merindu dari kata2 yang menuntun jiwa…




Elang jingga wandinata

CERMIN II

Salamku pada dunia yang muram...
Bukan kamu yang jalang tp dia....
Berpikirlah???
Binatang-binatang yang menggemeretakkan gigi taring...

Bau darah atau bangkai laparpun termamah....
Kumal, begundal di setapak jalan taman...
Mungkin lebih indah dia dari pada perebut kuasa...

Kapan kamu jd tuhan?
Najis dalam sembah ludahi langit terkena wajah.
Tampar,,,,
Pecahkan bibirmu hingga tak sanggup mengulum senyum…

Salamku pada dunia yang muram...
Bukan kamu yang jalang tp dia....
Berpikirlah???
Binatang-binatag yang menjilati liurnya….

Senyumu itu…
Senyum dari senyum tanpa rasa…
Tawamu itu…
Tawa dari tawa tanpa jiwa…

Bau busuk itu dari bekas makanan yang termuntah lebih harum membuai indraku…
Dari pada aroma mulutmu yang bertabur bunga…
Ketulusan pengemis lebih mulya walau meminta….
Dari pada pemberianmu Cuma untuk menjadi dewa…

Bercerninlah…..
Bercermintah ….
Pada kaca yang benar dapat memantulkan wajah….
Bukan pada keruhnya air …
Bukan pada gelap malam…
Bukan juga pada serpihan pasir…

Bercerminlah…
Bercermin…
Pada langkah yang telah menggetarkan takdir…


Elang jingga wandinata

AKU HANYA SERPIHAN KISAH

lukaku telah menghilang pada jasadku...
tapi dukaku tak juga melepasku..

kepakan sayap yang patah mengajakku meninggalkannya...
pergi jauh mematikan rasa yang bergejolak di jiwa...
ku sadar ego telah merasuk jwaku......
hingga pedih perih menyayat dengan pedang angin...
mencincang jiwa, raga dan rasa...
hingga matiku dengan detak yang masih menderma di nadiku...

aku juga merasa apa yang dia rasa...
namun semua ini hanya untuknya...
untuk sebuah bahagia yang kupersembahkan di balik doa yang terus mengalun di setiap nafasku...
dari rasa yang pernah membuat senyumku kembali...

aku hanya serpihan kisah yang harus terlupakannya...
walau bencinya menggunung hingga mencapai lapisan langit tak terhingga...
aku hanya mimpi, dari mimpi buruknya...
walau pedih mendera cekujur sukmaku....
pedihnya pedihku...
walau tak sepedih apa yang menghujamku...

aku paham dan aku mengerti...
namun aku harus pergi menjauh...
aku hanya duka yang akan membunuh senyumnya...
maka aku harus pergi...

aku tidak pernah menangis untuk duniaku...
aku menangis untuk takut dan salahku yang membasahi tikar lusuh...
ya... aku rapuh...
ya... aku pengecut...
pecundang yang takut akan bayangannya...
bahkan lebih rapuh dari cangkang telur yang terkubur beku...

bersajaklah....
walau dengan lukaku yang telah kucoba lupakan...
beryairlah....
dengan nestapa disetiap detik yang mengumpatku...

lukanya lukaku..
pedihnya pedihku...
namun lukaku bukan lukanya...
pedihku bukan pedihnya...
sampaikan padanya...
lupakan aku...
walau aku tak dapat melupakannya...

to w.
thanks andras.


elang jingga wandinata

BIARKAN AKU TERBANG DENGAN LUKAKU

aku sering bertanya pada diri...
apakah bulan disana sama seperti bulan yang kulihat...
mungkin berbeda....

aku telah mati dari timbunanan duka...
aku telah hilang dalam kebekuan...
jiwaku telah lenyap, bersemayam dalam ruang tak berpintu...

kisah...
indah...
hanya dongeng....
sepi telah menjadi teman abadiku...
sunyi telah menjadi permaisuriku....
menari dalam hitamnya gelap...

jujur,,,
sajakmu menggoyahkan awan pekatku...
dia bagian dari cahaya mataku...
cahaya yang selalu singgah dengan tawanya...

luka...
luka...
luka...

akhkhhhhhh....
aku ingin menjerit....
runtuhkan saja langit-langit...
telan aku....
himpit aku dengan bebatuan panas...

akhkhhhhhh...
didadaku....
didadaku...
menyesak tangis yang telah lama mengembara pergi...

akhkhhhhhh....
aku lelaki...
aku lelaki....
aku elang jingga...
aku elang...
kelana sepi penantang takdir...

kumohon....
hibur dia...
kembalikan tawa yang benar-benar mempunyai jiwa...
kumohon...
jangan ada tangis dimatanya...
bantu aku tuk membasuh dukanya...
kumohon...

aku ingin kembali....
aku ingin kembali...
aku ingin kembali...
jangan menagis jiwaku...
jangan mengis rasaku...
aku kan buatmu tersenyum....

kepastian itu kan kutulis di selembar daun takdir...
diammu kan menuai harapmu...
kebisuan kan terpecah dengan hadirku...

sayapku telah patah...
bahkan tak sanggup lagi kukepakan membelah sang langit...
bimbinglah aku...
bersandarlah dalam dekapku....

akhkhhhhh.....
aku lelaki....
aku elang jingga....
aku sang kelana sepi....
biarkan aku tebang dengan lukaku....

akhkhhhhhhhhhh....
aku....
aku....
aku....
aku tak mengerti....
aku ingin menjerit...
aku ingin kembali.....
tapi.....??????

akhkhhhhhhhhh....
aku elang jingga...
aku kelana sepi.....
akhkhhhhhhhhh....
aku elang jingga...
aku kelana sepi....


elang jingga wandinata

elang

aku ingin terbang............

KERINDUAN KEMBARA RINDU II ( kerinduan sigila... aku rindu padaMU)

ocehan sigila...
celoteh yang tak pernah di dengar...
namun tetap tertawa walau di tertawakan...
DIA di sana menatapku penuh senyum dengan kegilaanku...
aku rindu sangat merindu...
jujur...
bahkan saat kutulis kata ini hati ku menangis rindu...
tak dapat lg ku artikan tangisan ku ini...
tak dapat lagi kutahan rinduku ini...
aku sangat dan tersangat merindu...
aku rela melepaskan dunia yang ku cintai untukNYA yang memilikiku yang sangat ku rindu...
tak mengapa walau harus direndam dalam panasnya neraka tingkat 1000 aku mau demi rinduku untukNYA...
aku merindu...
andai saat ini panggilnya berseru memanggil ruhku...
dan aku tak dapat menyapa pagi esok hari aku tak mau perduli...
yang aku mau kerinduanku....
ya ALLAH ijinkan aku menjadi kekasihmu...
walau aku hanya menjadi debu yang melekat pada dinding istanamu...
aku mau dengan rinduku...
YA ALLAH aku terlampau cengeng dengan kerinduanku...
YA ALLAH aku malu karena tangisku...
tangis bodoh kerinduan si gila yang merindu...
kerinduan dari kembara rindu...
YA ALLAH pisahkanlah ruh dan jasadku untuk mencium kerinduanku....
YA ALLAH, mengapa aku harus menangis...
mengapa tangis ini tak tertahan...
tangis ini telah membasahi bajuku yang lusuh...
YA ALLAH aku ingin berteriak,
aku ingin berlari,
aku ingin menjerit...
namun kemana aku kan berlari untuk mengejar rinduku...
kan ku tembus pekat malam ini demi rinduku....
aku telah menjadi gila dengan rinduku...
aku bersumpah atas namaMU....
bukan surga atau neraka ciptaanmu yang ku harapkan....
tp rinduku padamu...
YA ALLAH....
YA ALLAH....
YA ALLAH...

Ilahi, lastu lilfirdausi ahla.Wala aqwa 'ala naril jahimiFahab li tawbatan waghfir dzunubi.Fainaka ghafirud dzanbil adzimi.

Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.

namun demi rinduku aku rela bermandi panasnya neraka...
hanya ridhomu yang ku mau YA ALLAH...

elang jingga wandinata.